K.H Tubagus Abdul Karim, Penggagas Pondok Pesantren Mathla'ul Huda, Dalembar Pandeglang, Banten |
Asal-Usul Keluarga
K.H. Tb. Abdul Karim dilahirkan di Rocek tahun 1914. Rocek adalah sebuah tempat di Pandeglang. Termasuk Desa Bojong Huni, Kecamatan Cimanuk. Ayahnya bernama Tb. H. Isma'il berasal dari Leuwi Kondang Desa Kadubumbang Kecamatan Cimanuk, dan ibunya bernama Siti Sarah yang berasal dari Pasir Angin, Desa Pager Batu, Kabupaten Pandeglang.K.H. Tb. Abdul Karim adalah anak pertama dari tujuh bersaudara, yang diantaranya adalah Ahmad sebagai anak kedua tinggal di Kaduhawuk, H. Hasan sebagai anak ketiga tinggal di Cilegon, Ningrum, Yahya, Ruyani yang ketiganya tinggal di daerah Lewikondang, dan Enar di Rocek.
Tb. H. Isma'il dan istri, membesarkan anak-anak mereka dalam suasana kekeluargaan, religious, disiplin, menghargai tinggi nilai kejujuran dan keberanian menegakkan kebenaran serta mendorong putra-putri mereka untuk hidup mandiri.Pada masa kanak-kanak dan masa remaja, K.H. Tb Abdul Karim sudah menampakkan kesalihannya. Hal inilah yang mendorong keluarganya berpengaruh banyak terhadap jalannya pendidikan K.H. Tb Abdul Karim. K.H. Tb Abdul Karim yang kala itu harus menyesuaikan diri dengan keadaan. oleh itu K.H. Tb Abdul Karim menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Dalam perjalanan hidupnya K.H. Tb Abdul Karim mengalami tiga kali masa perkawinan, antara lain: Perkawinan yang pertama dengan Siti pada tahun 1933 sampai tahun 1934. Perkawinan dengan Siti hanya berlangsung satu tahun dikarenakan K.H. Tb. Abdul Karim masih memiliki keinginan keras untuk belajar Islam di Pondok Pesantren, dan alasan selanjutnya yakni perkawinan ini melalui perjodohan yang dilakukan oleh orang tua. Maka perkawinan itu tidak berlangsung cukup lama dan dari perkawinan tersebut K.H. Tb Abdul Karim tidak dikaruniai seorang anak. Setelah perceraiannya dengan Siti, K.H. Tb Abdul Karim berangkat ke Jambudipa Gentur, Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur untuk lebih mendalami Islam kepada K.H. Ahmad Satibi. Disanalah K.H. Tb Abdul Karim mulai belajar kembali di pondok pesantren.
Setelah melanjutkan belajar di pesantren, pada tahun 1943 K.H. Tb Abdul Karim kembali ke kampung halaman dan menikah untuk yang kedua kalinya dengan Siti Tarwiyah bin H. Bahri yang dikenal dengan Iyot dari kampung Bengkung. Dari perkawinan ini K.H. Tb. Abdul Karim dikarunai dua orang anak, antara lain: Ratu Nawiroh dan Tb. Acep Saefullah.
Kemudian Iyot istri kedua meninggal dunia. Anak pertamanya yakni Ratu Nawiroh tinggal di Kampung Bengkung bersama keturunannya, sedangkan Tb. Acep Saefullah meninggal dunia tepatnya dikediaman anak K.H. Tb. Abdul Karim bersama Ratu Julaeha yakni Ratu Ifah Afifah di Kampung Pabrik, Desa Dalembalar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Dan meninggalkan seorang istri beserta kedua anaknya.
Setelah istri kedua meninggal dunia, maka pada tahun 1949 K.H. Tb. Abdul Karim kemudian menikah dengan Ratu Julaeha binti Tb. Halimi yang berasal dari Kampung Pabrik, Ratu Julaeha ini adalah istri terakhir dari K.H. Tb. Abdul Karim. Ratu Julaeha dinikahi ketika ia remaja dan umurnya mencapai 15 tahun, kemudian K.H. Tb. Abdul Karim dan Ratu Julaeha dikaruniai tujuh orang anak, dua putra dan lima putri diantaranya:
- Ratu Azzah
- Ratu Empin Arfiyah (Alm)
- Ratu Ifah Afifah
- Tubagus Badren Abdul Karim
- Tubagus A E Neirendan Abdul Karim
- Ratu Tuti Alawiyah
- Ratu Ida (Alm).
Dalam data informasi dijelaskan bahwa silsilah K.H. Tb. Abdul Karim sampai Kesultanan Banten yakni Syekh Syarif Hidayatullah dan ke Sayidina Husain bin Siti Fatimah binti Rasulullah SAW. Berikut daftar silsilah K.H. Tb. Abdul Karim.
K.H. Tb. Abdul Karim memiliki keturunan dari pihak ayah yakni, K.H. Tb. Abdul Karim bin K.H. Isma'il. K.H. Isma'il bin Tb. Salimin. Tb. Salimin bin Syekh Tb. Abdur Rahman. Syekh Tb. Abdur Rahman bin Syekh Isma'il Kasunyatan. Syekh Isma'il Kasunyatan bin Syekh Rafi'uddin. Syekh Rafi'uddin bin Syekh Usuluddin. Syekh Usuluddin bin Syekh Muhammad Sura Mangkala. Syekh Muhammad Sura Mangkala bin Syekh Wakil Tanawijaya. Syekh Wakil Tanawijaya bin Syekh Ishaq Zainal Muttaqin. Syekh Ishaq Zainal Muttaqin bin Syekh Muhammad Arif Kasifin. Syekh Muhammad Arif Kasifin bin Syekh Muhammad Wasi' Zainal Alamin. Syekh Muhammad Wasi' Zainal Alamin bin Syekh Maulana Syarifuddin Ratu Wakiil. Syekh Maulana Syarifuddin Ratu Wakiil bin Syekh Maulana Muhammad Syafi'I Zainal Arifin. Syekh Maulana Muhammad Syafi'I Zainal Arifin bin Syekh Maulana Abu Ma'asin Zainal Abidin. Syekh Maulana Abu Ma'asin Zainal Abidin bin Syekh Maulana Abu Fadil.
Syekh Maulana Abu Fadil bin Syekh Maulana Mansyuruddin. Syekh Maulana Mansyuruddin bin Sultan Maulana Abdul Fatah Tirtayasa. Sultan Maulana Abdul Fatah Tirtayasa bin Sultan Maulana Ahmad Kanari. Sultan Maulana Ahmad Kanari bin Sultan Maulana Abu Mafahir Muhammad Abdul Qadir. Sultan Maulana Abu Mafahir Muhammad Abdul Qadir bin Sultan Maulana Nasruddin. Sultan Maulana Nasruddin bin Sultan Maulana Yusuf. Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Maulana Hasanuddin. Sultan Maulana Hasanuddin bin Sultan Maulana Syarif Hidayatullah. Sultan Maulana Syarif Hidayatullah bin Sayyidina Syarif Abdullah Rajabani israail. Sayyidina Syarif Abdullah Rajabani israail bin Sayyidina Idris Asgor. Sayyidina Idris Asgor bin Sayyidina Idris Akbar. Sayyidina Idris Akbar bin Sayyidina Jamad al-Kabir. Sayyidina Jamad al-Kabir bin Sayyidina Jamad al-Kubro. Sayyidina Jamad al-Kubro bin Sayyidina Hasan Musanna. Sayyidina Hasan Musanna bin Sayyidina Hasan. Sayyidina Hasan binti Sayyidah Fatimah az-Zahra. Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW.
Silsilah dari pihak Ibu menurut data informasi yang diperoleh yakni K.H. Tb Abdul Karim bin Siti Sarah, binti Isma'il sampai kepada Ki Kiran, seterusnya sampai ke Sayyidin Hamzah sahabat Nabi.
Dalam perjuangan dan mengembangkan masyarakat terutama dibidang keagamaan K.H. Tb Abdul Karim memulai dari mengadakan pengajian yang bertempat di kediamannya sendiri dengan dihadiri oleh bapak-bapak dan kaum muda. Lama-kelamaan jumlah jama'ah pengajian semakin bertambah, dari sebagian jumlah jama'ah pengajian berasal dari luar Desa Dalembalar. Karena setiap tahunnya jumlah jamaah semakin bertambah, sedangkan fasilitas pendukungnya kurang memadai.
K.H. Tb Abdul Karim berinisiatif untuk mendirikan pondok pesantren dengan didukung oleh para jamaahnya, karena sebagian menginginkan kegiatan pengajian dilaksanakan secara kontinyu (terus-menerus) setiap hari, akhirnya berdirilah pondok pesantren Mathla'ul Huda.
Pendidikan pondok pesantren hanya terbatas pada pendidikan kitab-kitab salafi (tradisional) dimana santri belajar dengan metode yang masih tradisional dan santri pendatang tinggal di kobong sekitar lingkungan pondok pesantren mengelilingi kediaman pengasuhnya. Adapun santri yang rumahnya dekat dengan kediaman kiyai, mereka tinggal di rumah masing-masing dengan mengikuti jadwal pengajian yang telah ditetapkan oleh kiyai.
Tiga tahun kemudian atas permintaan masyarakat, K.H. Tb Abdul Karim mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) untuk anak-anak di sekitar pondok pesantren. Hal ini diinginkan karena banyak anak-anak di usia sekolah yang saat itu tidak masuk sekolah dasar (SD) sehingga keadaan ini menimbulkan keprihatinan pada sebagian masyarakat dan berinisiatif untuk meminta K.H. Tb Abdul Karim untuk bersedia membuka Madrasah Diniyah Awaliyah.
Pada awal berdirinya Madrasah Diniyah Awaliyah Mathla'ul Huda memiliki siswa sebanyak 20 orang. Namun seiring berjalannya waktu semakin bertambah. Sehingga setelah MDA mempunyai alumni, mulailah didirikan madrasah Tsanawiyah dan aliyah dengan system pendidikan pondok pesantren modern ala pondok pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur hingga sekarang.
Pada awal berdirinya, pondok pesantren Mathla'ul Huda dihadapkan pada permasalahan-permaslahan sehingga kemajuannya mengalami hambatan, permasalahan tersebut antara lain adanya pertentangan antara visi dan misi yang akan diusung lembaga pendidikan ini, satu pihak menginginkan agar calon santri pondok pesantren Mathla'ul Huda boleh tinggal dirumah, karena untuk tinggal di pesantren dinilai membutuhkan dana yang tidak sedikit dan ini membebani wali santri yang notabene adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Di pihak lainmenginginkan agar calon santri seluruhnya berdomosili di pondok pesantren, dengan tujuan untuk mengoptimalkan pendidikan dan pembinaan, karena dengan santri tinggal di lingkungan pondok pesantren maka target pendidikan bisa tercapai secara optimal, karena menggunakan system pendidikan 24 jam dimana santri setiap harinya dipenuhi dengan aktivitas mulai bangun pagi sampai malam hari.
Akhirnya setelah mengalami beberapakali proses musyawarah dan perbandingan dengan pengalaman di masa lalu, diambillah keputusan bahwa seluruh santri pondok pesantren Mathla'ul Huda diharuskan tinggal di lingkungan pondok dan diwajibkan mengikuti seluruh kegiatan yang telah diprogramkan oleh pengurus pondok. Kecuali bagi santri yang rumahnya berada di kampung yang sama dengan pondok, mereka diperbolehkan pulang ke rumah dengan tetap mengikuti program kegiatan pondok sebagaimana mestinya.
Sementara itu dalam perjuangan fisik melawan penjajah K.H. Tb Abdul Karim terlibat langsung memimpin dan menghimpun pasukan Hizbullah dari kekuatan rakyat dan para santri.Dimana K.H. Tb Abdul Karim menjadi salah satu pemimpin dalam perjuangan mengusir pendudukan Jepang maupun pada agresi Belanda kedua.
Pasca kemerdekaan, tahun 1946 sampai tahun 1949 K.H. Tb Abdul Karim dipercaya menjabat sebagai Lurah di Desa Dalembalar Kabupaten Pandeglang di Residen Banten KH. Ahmad Chotib. Dimana pada masa itu pemerintahan dari Residen, Bupati, Kepala Desa di jabat oleh para Ulama. K.H. Tb Abdul Karim juga aktif mendukung Masyumi dimana K.H. Tb Abdul Karim menjabat sebagai penasehat yang menghantarkannya menjadi anggota sekitar tahun 1964. Adapun aktifitas dalam mendukung Masyumi sekitar tahun 1947 sampai bubarnya Masyumi dari panggung politik Indonesia.
Walaupun beliau berkecimpung dalam tugas kedaerahan, tetapi K.H. Tb Abdul Karim tidak lepas sebagai pendidik di pondok pesantren Mathla'ul Huda dengan dukungan istri serta keluarga. Hal ini membuktikan integritas dan konsistensinya dalam melihat bidang pendidikan pesantren sebagai sarana kebajikan dan alat perjuangan. perankeluarga yang terus menerus berusaha mengembangkan pondok pesantren dengan cara memasyarakatkannya lewat dakwah karena tujuannya ingin membina umat yang baik dan mengajak kepada sesuatu yang terbaik.
K.H. Tb. Abdul Karim wafat dalam kondisi usia lanjut tepatnya pada umur 83 tahun pada hari Jum'at tanggal 29 Ramadhan 1417 H bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1997 M. Di kediamannya dan dimakamkan di dekat Musholla Al-Misbah tepatnya di Kampung Pabrik, Desa Dalembalar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang.
Silsilah dari pihak Ibu menurut data informasi yang diperoleh yakni K.H. Tb Abdul Karim bin Siti Sarah, binti Isma'il sampai kepada Ki Kiran, seterusnya sampai ke Sayyidin Hamzah sahabat Nabi.
Dalam perjuangan dan mengembangkan masyarakat terutama dibidang keagamaan K.H. Tb Abdul Karim memulai dari mengadakan pengajian yang bertempat di kediamannya sendiri dengan dihadiri oleh bapak-bapak dan kaum muda. Lama-kelamaan jumlah jama'ah pengajian semakin bertambah, dari sebagian jumlah jama'ah pengajian berasal dari luar Desa Dalembalar. Karena setiap tahunnya jumlah jamaah semakin bertambah, sedangkan fasilitas pendukungnya kurang memadai.
K.H. Tb Abdul Karim berinisiatif untuk mendirikan pondok pesantren dengan didukung oleh para jamaahnya, karena sebagian menginginkan kegiatan pengajian dilaksanakan secara kontinyu (terus-menerus) setiap hari, akhirnya berdirilah pondok pesantren Mathla'ul Huda.
Pendidikan pondok pesantren hanya terbatas pada pendidikan kitab-kitab salafi (tradisional) dimana santri belajar dengan metode yang masih tradisional dan santri pendatang tinggal di kobong sekitar lingkungan pondok pesantren mengelilingi kediaman pengasuhnya. Adapun santri yang rumahnya dekat dengan kediaman kiyai, mereka tinggal di rumah masing-masing dengan mengikuti jadwal pengajian yang telah ditetapkan oleh kiyai.
Tiga tahun kemudian atas permintaan masyarakat, K.H. Tb Abdul Karim mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) untuk anak-anak di sekitar pondok pesantren. Hal ini diinginkan karena banyak anak-anak di usia sekolah yang saat itu tidak masuk sekolah dasar (SD) sehingga keadaan ini menimbulkan keprihatinan pada sebagian masyarakat dan berinisiatif untuk meminta K.H. Tb Abdul Karim untuk bersedia membuka Madrasah Diniyah Awaliyah.
Pada awal berdirinya Madrasah Diniyah Awaliyah Mathla'ul Huda memiliki siswa sebanyak 20 orang. Namun seiring berjalannya waktu semakin bertambah. Sehingga setelah MDA mempunyai alumni, mulailah didirikan madrasah Tsanawiyah dan aliyah dengan system pendidikan pondok pesantren modern ala pondok pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur hingga sekarang.
Pada awal berdirinya, pondok pesantren Mathla'ul Huda dihadapkan pada permasalahan-permaslahan sehingga kemajuannya mengalami hambatan, permasalahan tersebut antara lain adanya pertentangan antara visi dan misi yang akan diusung lembaga pendidikan ini, satu pihak menginginkan agar calon santri pondok pesantren Mathla'ul Huda boleh tinggal dirumah, karena untuk tinggal di pesantren dinilai membutuhkan dana yang tidak sedikit dan ini membebani wali santri yang notabene adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Di pihak lainmenginginkan agar calon santri seluruhnya berdomosili di pondok pesantren, dengan tujuan untuk mengoptimalkan pendidikan dan pembinaan, karena dengan santri tinggal di lingkungan pondok pesantren maka target pendidikan bisa tercapai secara optimal, karena menggunakan system pendidikan 24 jam dimana santri setiap harinya dipenuhi dengan aktivitas mulai bangun pagi sampai malam hari.
Akhirnya setelah mengalami beberapakali proses musyawarah dan perbandingan dengan pengalaman di masa lalu, diambillah keputusan bahwa seluruh santri pondok pesantren Mathla'ul Huda diharuskan tinggal di lingkungan pondok dan diwajibkan mengikuti seluruh kegiatan yang telah diprogramkan oleh pengurus pondok. Kecuali bagi santri yang rumahnya berada di kampung yang sama dengan pondok, mereka diperbolehkan pulang ke rumah dengan tetap mengikuti program kegiatan pondok sebagaimana mestinya.
Sementara itu dalam perjuangan fisik melawan penjajah K.H. Tb Abdul Karim terlibat langsung memimpin dan menghimpun pasukan Hizbullah dari kekuatan rakyat dan para santri.Dimana K.H. Tb Abdul Karim menjadi salah satu pemimpin dalam perjuangan mengusir pendudukan Jepang maupun pada agresi Belanda kedua.
Pasca kemerdekaan, tahun 1946 sampai tahun 1949 K.H. Tb Abdul Karim dipercaya menjabat sebagai Lurah di Desa Dalembalar Kabupaten Pandeglang di Residen Banten KH. Ahmad Chotib. Dimana pada masa itu pemerintahan dari Residen, Bupati, Kepala Desa di jabat oleh para Ulama. K.H. Tb Abdul Karim juga aktif mendukung Masyumi dimana K.H. Tb Abdul Karim menjabat sebagai penasehat yang menghantarkannya menjadi anggota sekitar tahun 1964. Adapun aktifitas dalam mendukung Masyumi sekitar tahun 1947 sampai bubarnya Masyumi dari panggung politik Indonesia.
Walaupun beliau berkecimpung dalam tugas kedaerahan, tetapi K.H. Tb Abdul Karim tidak lepas sebagai pendidik di pondok pesantren Mathla'ul Huda dengan dukungan istri serta keluarga. Hal ini membuktikan integritas dan konsistensinya dalam melihat bidang pendidikan pesantren sebagai sarana kebajikan dan alat perjuangan. perankeluarga yang terus menerus berusaha mengembangkan pondok pesantren dengan cara memasyarakatkannya lewat dakwah karena tujuannya ingin membina umat yang baik dan mengajak kepada sesuatu yang terbaik.
K.H. Tb. Abdul Karim wafat dalam kondisi usia lanjut tepatnya pada umur 83 tahun pada hari Jum'at tanggal 29 Ramadhan 1417 H bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1997 M. Di kediamannya dan dimakamkan di dekat Musholla Al-Misbah tepatnya di Kampung Pabrik, Desa Dalembalar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang.
Pendidikan K.H. Tb Abdul Karim
Sebelum penulis memaparkan tentang pendidikan K.H. Tb Abdul Karim, terlebih dahulu akan memaparkan definisi tentang pendidikan. Menurut Muhaimin dalam bukunya Manajemen Pendidikan pendidikan adalah merupakan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai, termasuk nilai-nilai keislamannya.Pendidikan Islam sendiri terbagi dalam berbagai jenis salah satunya pondok pesantren atau madrasah diniyah, yang menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional disebut sebagai system pendidikan keagamaan (Islam) formal.
Sebagian besar masa pendidikan K.H. Tb Abdul Karim dilakukan di Pondok Pesantren. Adapun masa pendidikan diluar pondok pesantren belum diketahui penulis. Pondok-pondok pesantren yang pernah K.H. Tb Abdul Karim tinggali semasa belajar antara lain:
- Tahun 1921-1924 : Pesantren di Rocek
- Tahun 1924-1929 : Pesantren di Sempur Plered tepatnya di Purwakarta, kepada K.H. Tubagus Sayyidah
- Tahun 1930-1934 : Pesantren di Bogor Ciluwer
- Tahun 1942-1943 : Pesantren di Gentur Jambudipa di Cianjur, kepada KH. Ahmad Satibi
- Tahun 1942-1943 : Pesantren di Kadu Peusing
- Tahun 1943 : K.H. Tb Abdul Karim mengajar pengajian kitab dikediamannya
- Tahun 1948 : K.H. Tb Abdul Karim membuat Pondok Pesantren Mathla‟ul Huda di Bengkung
- Tahun 1960 : K.H. Tb Abdul Karim mendirikan Madrasah Ibtidaiyah di Pabrik, dan pada tahun 1980 eksistensi pendidikan dan pengajaran mengalami kemandekan. Tahun 1987 Ibtidaiyyah dirintis kembali dan ditindak lanjuti oleh Bapak. H. Maman Sofyan dibantu oleh Tb. Acep Saefullah, H. Afendi Madlias, Kol. Komasi, Hartono Marjono SH.
- Tahun 1957-1960 : K.H. Tb Abdul Karim menjadi pengurus Mathla'ul Anwar
- Tahun 1961-1963 : K.H. Tb Abdul Karim menjadi pengajar di pengajian Majlis Ta'lim di Cihideung
- Tahun 1962 : Mengajar di Pondok pesantren Mathla‟ul Huda Pabrik
- Tahun 1962 : K.H. Tb Abdul Karim mengajar pengajian khusus para kiyai tepat hari kamis pagi dan pengajian untuk umum pada hari jum'at. Sampai saat ini pengajian tersebut masih dilaksanakan di Kampung Pabrik, Desa Dalembalar, Cimanuk, Pandeglang. Saat ini pengajian tersebut dipindah alihkan tepat dihari sabtu dengan pengajar K.H. Uyung Ambari12 dari Kadu Kaweng Pandeglang, dan K.H. Mukhtar dari Lebak Purut Pandeglang. K.H. Uyung ambari adalah salah satu murid dari K.H. Tb Abdul Karim dan salah satu orang yang pernah merasakan belajar kepada K.H. Tb Abdul Karim.
- Tahun 1970 : K.H. Tb Abdul Karim mengajar pengajian di Kananga yakni di Kecamatan Menes Kabupaten Kabupaten Pandeglang. Ditahun ini pula K.H. Tb Abdul Karim mengajar pengajian di Labuan.
- Tahun 1970-1980 : K.H. Tb Abdul Karim mengajar pada pengajian di Kadukacang.
- Tahun 1975-1980 : Mengajar pengajian di Pandat.
- Tahun 1980-1987 : K.H. Tb Abdul Karim mengajar pada pengajian di Kadulisung, dan di tahun yang sama mengajar pada pengajian di Cidangiang.
- Tahun 1989-1996 : Mengajar pada pengajian Majlis Ta'lim di Nyimas Ropoh
Dari kitab-kitab alat yang diajarkan oleh K.H. Tb Abdul Karim antara lain :Alfiyah, Al-Ma'ani, Badi, Balaghoh, Bayan, Imriti, Johar Maknun, Jurumiyah, Mantik, Tasrif, Yaqulu.
Pengalaman Organisasi
Dari segi bentuknya organisasi adalah wadah atau kerangka dasar dari suatu usaha kerja sama, jika wadah atau kerangka itu baik, dilengkapi dengan personalia cakap dan bermental bagus, maka akan tercapai tujuan bersama. Perumusan organisasi ini disebut organisasi formal sedangkan organisasi informal adalah organisasi sebagai alat untuk mengadakan hubungan-hubungan pribadi, bekerjasama dengan kelompok-kelompok orang dipersatukan oleh satu tujuan.Ketika berbicara mengenai K.H. Tb Abdul Karim maka orang mengambil sebuah kesimpulan bahwa K.H. Tb Abdul Karim selain seorang ulama juga seorang pejuang yang berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Seorang yang berperan aktif dalam bidang politik dan organisasi, dapat dibuktikan dengan ikut serta K.H. Tb Abdul Karim dalam Masyumi dalam rangka membantu tentara Sabilillah. Mempunyai pendirian yang sangat teguh terhadap kejayaan Indonesia Raya dan Rahmatan Lil Alamiin.
Dengan berbagai macam konsekuaensi yang diterimanya, K.H. Tb Abdul Karim merespon segala bentuk kejadian-kejadian politik yang ada di Indonesia dan berjuang kearah tercapainya cita-cita menuju Indonesia jaya. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945, K.H. Tb Abdul Karim menjabat sebagai Ketua Majlis Ishlah Indonesia disalah satu perangkat organisasi yang mendukung tentara Sabilillah dalam rangka perlawanan melawan Belanda tahun 1946-1949 bersama KH. Abdul Halim, dan Tb. Ahmad Ghozali di Pandeglang.
Dengan berakhirnya agresi Militer Belanda ke II, K.H. Tb Abdul Karim masih aktif dalam Masyumi antara lain sebutan pengganti dari MII sampai Masyumi mengalami pembubaran untuk pertama kalinya tahun 1960. Dengan berperinsip bagaimana mewujudkan umat Islam yang Rahmatan Lil „Alamin, serta kontribusinya sebagai penasihat di Masyumi yang membuat K.H. Tb Abdul Karim diakui sebagai ulama yang moderat kala itu oleh masyarakat. Dan hal ini pulalah yang menjadikan K.H. Tb Abdul Karim salah satu anggota sekitar tahun 1964.
Ketika pemerintahan Orde Baru K.H. Tb Abdul Karim juga termasuk ulama yang menentang NASAKOM, dan bergabung dengan ulama-ulama yang tergabung di Masyumi maupun ulama yang diluar Masyumi di Kabupaten Pandeglang. K.H. Tb Abdul Karim merespon berbagai macam isu yang berkembang terhadap rakyat Indonesia dengan cara melawan para penjajah, seperti G30S/PKI dan pergerakan Syariat Islam di Indonesia dan Banten. Peristiwa ini tidak terlepas dari respon seorang ulama. K.H. Tb Abdul Karim telah banyak memberikan kontibusi yang ril bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Telah berjuang dengan segala sepak terjang, yang sebagian besar mengandung sifat-sifat yang memajukan dan meningkatkan derajat, harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Setelah Masyumi mengalami pembubaran K.H. Tb Abdul Karim bergabung dengan PARMUS. K.H. Tb Abdul Karim berperan sebagai penasehat sampai kemudian pusinya partai-partai Islam di Indonesia.
___________
*Materi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratu Mubasyiroh, Cucu K.H TB. Abdul Karim dengan Judul "Peran K.H. TB Abdul Karim di Pandeglang Pada Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945" sebagai Syarat untuk memperoleh gelar di Fakultas Ushuluddin dan Adab Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Karya Ilmiah dapat diakses disini